Terumbu Karang, Adapt or Die

LUAS terumbu karang Indonesia mencakup wilayah 50.000 km persegi. Areal itu hampir mencakup 1/5 dari luas terumbu karang yang ada di dunia (Investing in a More Sustainable Indonesia, World Bank 2009). Mober dan Folke (1999) menunjukkan beberapa contoh barang (goods) dan jasa (services) yang disumbangkan ekosistem terumbu karang. Ekosistem ini telah mengaruniai kita sumber-sumber terbarukan seperti ikan dan rumput laut serta hasil penambangan karang berupa pasir dan karang.
Di samping itu, terumbu karang telah berjasa melindungi pantai dari hempasan ombak, menjadi taman ikan-ikan dewasa setelah mereka menghabiskan masa remajanya di kawasanbakau, menjadi perekam informasi iklim, dan juga menjadi sarana sosial, ekonomi, budaya masyarakat karena unsur keindahan dan kekayaan yang dimilikinya. Berdasarkan kontribusi goods dan services-nya itu, beberapa kelompok peneliti membuat taksiran potensi ekonomi kawasan terumbu karang sehat di Indonesia dan Filipina (Cesar, 1996; White dkk, 2000). Menurut mereka, setiap tahunnya untuk setiap km persegi areal terumbu karang, potensi ekonomi (dalam US$) yang diperoleh dari sektor perikanan dan aspek perlindungan pantainya bernilai 20 ribu hingga 151 ribu. Jika dimasukkan pula komponen sektor pariwisatanya, potensi ekonomi itu akan meningkat, yakni berada pada kisaran 23 ribu hingga 270 ribu. Dengan daerah karang seluas 50 ribu km persegi itu, kita sebenarnya memiliki potensi kekayaan yang amat besar.


Namun, amat disayangkan bahwa belakangan ini potensi ekonomi terumbu karang kita itu seakan tergerus beberapa aktivitas manusia, seperti pencarian ikan menggunakan bahan peledak dan sianida (Cesar dkk 1997; 1999 dan 2000). Selain ancaman berskala lokal itu, terumbu karang menghadapi ancaman global, muncul dalam bentuk pemutihan karang (coral bleaching) akibat suhu laut ekstrem, penurunan laju pengapuran karang karena pengasaman samudra.

Pemutihan karang

Pada kondisi lingkungan yang normal, terumbu karang dan alga zooxanthellae bekerja sama (simbiosis) 'papan-pangan' yang saling menguntungkan. Karang adalah tempat berlindung (shelter), sedangkan zooxanthellae menjadi penghasil energi, pertumbuhan, pemercepat proses pengapuran, dan reproduksi karang. Namun, ketika terjadi perubahan ekstrem pada lingkungan sekitarnya, kelompok alga penghuni karang itu hijrah dari rumahnya meninggalkan karang. Karang yang ditinggal pergi oleh penghuninya akan memutih (bleached) lalu mati. Keadaan-keadaan ekstrem lingkungan yang bertanggung jawab pada per mutihan karang itu ternyata amat beragam (Goreau dkk, 1992: A Global Warmifig Forum-Scientific, Economic and Legal Forum , editor: RA Geyer). Beberapa keadaan ekstrem itu di antaranya adalah menurunnya suhu laut akibat melintasnya fenomena atmosphere cold front di wilayah karang atau meningkatnya suhu laut akibat hadirnya udara panas (heat wave) dan El Nino (kenaikan suhu muka laut di daerah tropis akibat interaksi samudra-atmosfer). Meskipun pemutihan karang yang ekstensif dan masif umumnya bertepatan dengan kehadiran udara panas dan anomali iklim seperti yang terjadi pada El Nino 1982 / 83 dan 1997 / 98, ada pula saatnya fenomena pemutihan itu terjadi tanpa kehadiran anomali itu. Untuk menyelidiki hal itu Halide dan Ridd (dalam buku Fuzzy Logic-A Framework for the New Millennium yang disunting V Dimitrov dan V Korotkich, 2002) membuat rekonstruksi tahunah pemutihan karang dari salah satu gugus karang Great Barrier Reef, dekat Magnetic Island, Australia. Hasil rekonstruksi pada periode 1980-1999 menunjukkan fenomena pemutihan karang terjadi jika suhu laut pada tahun tertentu lebih tinggi 0,37 derajat Celsius daripada suhu laut tahun sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa untuk menghindari terjadinya pemutihan, terumbu karang seolah-olah melakukan suatu bentuk proses penyesuaian diri terhadap lingkungan / aklimatisasi. Mekanisme aklimatisasi ini baru dapat dijelaskan beberapa tahun terakhir ini melalui beberapa kajian tentang analisis toleransi suhu hasil kombinasi simbiosis antara karang dan beragam filogenik alga penghuninya. Salah satu studi, misalnya, Mieog dkk (2009) menemukan simbiosis antara karang dan alga berfilogenik C dan D merupakan kombinasi dengan toleransi suhu besar. Jadi ketika terjadi peningkatan suhu laut, alga yang tak tahan suhu tinggi akan pergi meninggalkan karang dan menyebabkan karang memutih. Karang itu akan pulih kembali ketika penghuninya secara alamiah digantikan simbion alga yang lebih toleran suhu lingkungan baru.

Pengapuran karang

Jika kasus pemulihan karang disebabkan keadaan lingkungan ekstrem yang memengaruhi simbiosis alga dan karang, kasus penurunan laju pengapuran karang ditimbulkan adanya pengasaman samudra (De'ath dkk, 2009). Pengasaman ini (penurunan nilai pH air laut dan kadar ion karbonat) disebabkan semakin meningkatnya konsentrasi CO2 yang larut pada muka laut dari atmosfer seiring dengan peningkatan kadar CO2 dari atmosfer. Sebagaimana kita ketahui, konsentrasi CO2 di atmosfer telah mengambil peningkatan dari 280 ppm pada awal revolusi industri dan kini telah mencapai 387 ppm akibat kegiatan industri dan pertanian. Menurut Kleypas dan Langdon (2006), penurunan ion karbonat yang merupakan bahan dasar mineral penyusun kerangka terumbu karang akan berdampak pada kelangsungan hidup karang. Sebagian dampak itu misalnya menurunnya kemampuan terumbu karang menghadapi tekanan hidrodinamik (arus dan gelombang laut) dan menurunnya kemampuan kompetisi terumbu karang memperoleh wilayah karena strukturnya menjadi rapuh karena kekurangan karbonat. Hasil permodelan kelompok peneliti Silverman dkk (2009) bahkan lebih mencemaskan lagi karena memprediksikan jika konsentrasi C02 di atmosfer mencapai 560 ppm, terumbu karang terhenti pertumbuhannya dan berangsur mengalami pelarutan.

Namun, hasil kajian terumbu karang di Great Barrier Reef oleh kelompok Lough dan Barnes (2000) menemukan laju pengapuran akan semakin meningkat dengan naiknya suhu laut. Itu ada hubungannya dengan meningkatnya proses metabolisme pada suhu lebih tinggi. Selain itu, peningkatan kadar CO2 malah semakin meningkatkan laju fotosintesis alga zooxanthellae. Hasil fotasintesis itu penting bagi pertumbuhan karang karena, pertama, hasil fotosintesa sumber energi pertumbuhan karang (Buddemeier dkk, 2004). Kedua, proses fotosintesa menjamin terbentuknya kondisi aerobik (kaya oksigen) yang sehat untuk terumbu karang. Selain peran pentingnya pada proses fotosintesis, alga penyerap produk limbah metabolisme berbahaya bagi karang (Idso, 2009).

Adapt or die!

Uraian itu menunjukkan, untuk menghadapi pemutihan karang dan pengasaman samudra itu, terumbu karang harus mampu beradaptasi agar tetap hidup. Hal itu diperoleh melalui kemampuannya memilih pasangan alga simbion yang lebih toleran tekanan lingkungan (peningkatan suhu maupun kadar C02). Manusia dapat berpartisipasi dalam proses adaptasi ini melalui kajian biomolekuler / genome. Penerapan kajian bisa ditemukan pada upaya restorasi terumbu karang yang rusak akibat suatu pembahan lingkungan. Salah satu contoh upaya transplantasi simbion alga tertentu ke wilayah restorasi (Baums, 2008).



Sumber : Media Indonesia 27 Januari 2010,Hal.16


reff : http://perikanan-tangkap.blogspot.com/2010/02/terumbu-karang-adapt-or-die.html


Related video : Terumbu Karang, Adapt or Die


Previous
Next Post »