Benih bandeng (nener) merupakan salah satu sarana produksi yang utama dalam usaha budidaya bandeng di tambak. Perkembangan Teknologi budidaya bandeng di tambak dirasakan sangat lambat dibandingkan dengan usaha budidaya udang. Faktor ketersediaan benih merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan teknologi budidaya bandeng. Selama ini produksi nener alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus berkembang, oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya untuk mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting. Tanpa mengabaikan arti penting dalam pelestarian alam, pengembangan wilayah, penyediaan dukungan terhadap pembangunan perikanan khususnya dan pembangunan nasional umumnya, kegiatan pembenihan bandeng di hatchery harus diarahkan untuk tidak menjadi penyaing bagi kegiatan penangkapan nener di alam. Diharapkan produksi benih nener di hatchery diarahkan untuk mengimbangi selisih antara permintaan yang terus meningkat dan pasok penangkapan di alam yang diduga akan menurun.
Teknologi produksi benih di hatchery telah tersedia dan dapat diterapkan baik dalam suatu Hatchery Lengkap (HL) maupun Hatchery Sepenggal (HS) seperti Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Produksi nener di hatchery sepenggal dapat diandalkan. Karena resiko kecil, biaya rendah dan hasil memadai. Hatchery sepenggal sangat cocok dikembangkan di daerah miskin sebagai salah satu upaya penaggulangan kemiskinan bila dikaitkan dalam pola bapak angkat dengan hatchery lengkap (HL). Dilain pihak, hatchery lengkap (HL) dapat diandalkan sebagai produsen benih bandeng (nener) yang bermutu serta tepat musim, jumlah dan harga. Usaha pembenihan bandeng di hatchery dapat mengarahkan kegiatan budidaya menjadi kegiatan yang mapan dan tidak terlalu dipengaruhi kondisi alam serta tidak memanfaatkan sumber daya secara berlebihan. Dalam siklusnya yang utuh, kegiatan budidaya bandeng yang mengandalkan benih hatchery bahkan dapat mendukung kegiatan pelestarian sumberdaya baik melalui penurunan terhadap sumber daya benih species lain yang biasa terjadi pada penangkapan nener di alam maupun melalui penebaran di perairan pantai (restocking).
Disisi lain, perkembangan hatchery bandeng di kawasan pantai dapat dijadikan titik tumbuh kegiatan ekonomi dalam rangka pengembangan wilayah dan penyerapan tenaga kerja yang mengarah pada pembangunan berwawasan lingkungan. Pada giliranya, tenaga yang terserap di hatchery itu sendiri selain berlaku sebagai produsen juga berlaku sebagai konsumen bagi kebutuhan kegiatan sehari-hari yang dapat mendorong kegiatan ekonomi masyarakat sekitar hatchery.
PERSYARATAN LOKASI
Pemilihan tempat perbenihan bandeng harus mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persyaratan lokasi adalah sebagai berikut:
1) Status tanah dalam kaitan dengan peraturan daerah dan jelas sebelum hatchery dibangun.
2) Mampu menjamin ketersediaan air dan pengairan yang memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan;
- Pergantian air minimal; 200 % per hari.
- Suhu air, 26,5-310C.
- PH; 6,5-8,5.
- Oksigen larut; 3,0-8,5 ppm.
- Alkalinitas 50-500ppm.
- Kecerahan 20-40 cm (cahaya matahari sampai ke dasar pelataran).
- Air terhindar dari polusi baik polusi bahan organik maupun an organik.
3) Sifat-sifat perairan pantai dalam kaitan dengan pasang surut dan pasang arus perlu diketahui secara rinci.
4) Faktor-faktor biologis seperti kesuburan perairan, rantai makanan, species dominan, keberadaan predator dan kompetitor, serta penyakit endemik harus diperhatikan karena mampu mengakibatkan kegagalan proses produksi.
SARANA DAN PRASARANA
Sarana Pokok
Fasilitas pokok yang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan produksi adalah bak penampungan air tawar dan air laut, laboratorium basah, bak pemeliharaa larva, bak pemeliharaan induk dan inkubasi telur serta bak pakan alami.
a. Bak Penampungan Air Tawar dan Air Laut.
Bak penampungan air (reservoir) dibangun pada ketinggian sedemikian rupa sehingga air dapat didistribusikan secara gravitasi ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang memerlukan air (laut, tawar bersih). Sistim pipa pemasukkan dan pembuangan air perlu dibangun pada bak pemelihara induk, pemeliharaan larva, pemeliharan pakan alami, laboratorium kering dan basah serta saran lain yang memerlukan air tawar dan air laut serta udara (aerator). Laboratorium basah sebaiknya dibangun berdekatan dengan bangunan pemeliharaan larva dan banguna kultur murni plankton serta diatur menghadap ke kultur masal plankton dan dilengkapi dengan sistim pemipaan air tawar, air laut dan udara.
b. Bak Pemeliharaan Induk
Bak pemeliharaan induk berbentuk empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman lebih dari 1 meter yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan di luar ruangan langsung menerima cahaya tanpa dinding.
c. Bak Pemeliharan Telur
Bak perawatan telur terbuat dari akuarium kaca atau serat kaca dengan daya tampung lebih dari 2.000.000 butir telur pada kepadatan 10.000 butir per liter.
d. Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeliharaan larva yang berfungsi juga sebagai bak penetasan telur dapat terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton, sebaiknya berwarna agak gelap, berukuran (4x5x1,5) m3 dengan volume 1-10 ton berbentuk bulat atau bujur sangkar yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan diletakkan di dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding balik. Untuk mengatasi penurunan suhu air pada malam hari, bak larva diberi penutup berupa terpal plastik untuk menyangga atap plastik, dapat digunakan bentangan kayu/bambu.
e. Bak Pemeliharaan Makanan Alami, Kultur Plankton Chlorella sp dan Rotifera.
Bak kultur plankton chlorella sp disesuaikan dengan volume bak pemeliharaan larva yang terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton ditempatkan di luar ruangan yang dapat langsung mendapat cahaya matahari. Bak perlu ditutup dengan plastik transparan pada bagian atasnya agar cahaya juga bisa masuk ke dalam bak untuk melindungi dari pengaruh air hujan.
Kedalamam bak kultur chlorella sp harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya matahari dapat dijamin mencapai dasar tangki. Kedalaman air dalam tangki disarankan tidak melebihi 1 meter atau 0,6 m, ukuran bak kultur plankton chlorella sp adalah (20 x 25 x 0,6)m3. Bak kultur rotifera terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton yang ditempatkan dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding. Perbandingan antara volume bak chlorella, rotifera dan larva sebaliknya 5:5:1.
2) Sarana Penunjang
Untuk menunjang perbenihan sarana yang diperlukan adalah laboratorium pakan alami, ruang pompa,air blower, ruang packing, ruang genset, bengkel, kendaraan roda dua dan roda empat serta gudang (ruang pentimpanan barang-barang opersional) harus tersedia sesuai kebutuhan dan memenuhi persyaratan dan ditata untuk menjamin kemudahan serta keselamatan kerja.
a) Laboratorium pakan alami seperti laboratorium fytoplankton berguna sebagai tempat kultur murni plankton yang ditempatkan pada lokasi dekat hatchery yang memerlukan ruangan suhu rendah yakni 22~25 0C.
b) Laboratorium kering termasuk laboratorium kimia/mikrobialogi sebaiknya dibangun berdekatan dengan bak pemeliharaan larva berguna sebagai bangunan stok kultur dan penyimpanan plankton dengan suhu sekitar 22~25 0C serta dalam ruangan. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemasaran hasil dilengkapi dengan fasilitas ruang pengepakan yang dilengpaki dengan sistimpemipaan air tawar dan air laut, udara serta sarana lainnya seperti peti kedap air, kardus, bak plastik, karet dan oksigen murni. Alat angkut roda dua dan empat yang berfungsi untuk memperlancar pekerjaan dan pengangkutan hasil benih harus tersedia tetap dalam keadaan baik dan siap pakai. Untuk pembangkit tenaga listrik atau penyimpanan peralatan dilengkapi dengan fasilitas ruang genset dan bengkel, ruang pompa air dan blower, ruang pendingin dan gudang.
3) Sarana Pelengkap
Sarana pelengkap dalam kegiatan perbenihan terdiri dari ruang kantor, perpustakaan, alat tulis menulis, mesin ketik, komputer, ruang serbaguna, ruang makan, ruang pertemuan, tempat tinggal staf dan karyawan.
TEKNIK PEMELIHARAN
1) Persiapan Operasional.
a. Sarana yang digunakan memenuhi persyaratan higienis, siap dipakai dan bebas cemaran. Bak-bak sebelum digunakan dibersihkan atau dicuci dengan sabun detergen dan disikat lalu dikeringkan 2-3 hari. Pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak kain yang dicelupkan ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10% dalam 1 m3 air) dan didiamkan selama 1~2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat dengan dosis 40 ppm atau desinfektan lain yaitu formalin 50 ppm. Menyiapkan suku cadang seperti pompa, genset dan blower untuk mengantisipasi kerusakan pada saat proses produksi.
b. Menyiapkan bahan makanan induk dan larva pupuk fytoplankton, bahan kimia yang tersedia cukup sesuai jumlah dan persyaratan mutu untuk tiap tahap pembenihan.
c. Menyiapkan tenaga pembenihan yang terampil, disiplin dan berpengalaman dan mampu menguasai bidang kerjanya.
2) Pengadaan Induk.
a. Umur induk antara 4~5 tahun yang beratnya lebih dari 4 kg/ekor.
b. Pengangkutan induk jarak jauh menggunakan bak plastik. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air bersalinitas rendah (10~15)ppt, serta suhu 24~25 0C. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air barsalinitas rendah (10~15) ppt, serta suhu 24~25 0C.
c. Kepadatan induk selama pengangkutan lebih dari 18 jam, 5~7 kg/m3 air. Kedalaman air dalam bak sekitar 50 cm dan permukaan bak ditutup untuk mereduksi penetrasi cahaya dan panas.
d. Aklimatisasi dengan salinitas sama dengan pada saat pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening kembali. Setelah selesai aklimatisasi salinitas segera dinaikan dengan cara mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar.
3) Pemeliharaan Induk
a. Induk berbobot 4~6 kg/ekor dipelihara pada kepadatan satu ekor per 2~4 m3 dalam bak berbentuk bundar yang dilengkapi aerasi sampai kedalaman 2 meter.
b. Pergantian air 150 % per hari dan sisa makanan disiphon setiap 3 hari sekali. Ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton.
c. Pemberian pakan dengan kandungan protein sekitar 35 % dan lemak 6~8 % diberikan 2~3 % dari bobot bio per hari diberikan 2 kali per hari yaitu pagi dan masa sore.
d. Salinitas 30~35 ppt, oksigen terlarut . 5 ppm, amoniak < 0,01 ppm, asam belerang < 0,001 ppm, nirit < 1,0 ppm, pH; 7~85 suhu 27~33 C.
4) Pemilihan Induk
a. Berat induk lebih dari 5 kg atau panjang antara 55~60 cm, bersisik bersih, cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu berenang cepat.
b. Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan dengan cara membius ikan dengan 2 phenoxyethanol dosis 200~300 ppm. Setelah ikan melemah kanula dimasukan ke-lubang kelamin sedalam 20~40 cm tergantung dari panjang ikan dan dihisap. Pemijahan (striping) dapat juga dilakukan terutama untuk induk jantan.
c. Diameter telur yang diperoleh melalui kanulasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad. Induk yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron sudah siap untuk dipijahkan.
d. Induk jantan yang siap dipijahkan adalah yang mengandung sperma tingkat III yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk banyak sewaktu dipijat dari bagian perut kearah lubang kelamin.
5) Pematangan Gonad
a. Hormon dari luar dapat dilibatkan dalam proses metabolisme yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi dengan cara penyuntikan dan implantasi menggunakan implanter khusus. Jenis hormon yang lazim digunakan untuk mengacu pematangan gonad dan pemijahan bandeng LHRH ?a, 17 alpha methiltestoteron dan HCG.
Cara penyuntikan pellet hormon ke ikan bandeng
? Induk bandeng diletakkan di atas bantalan busa.
? Lendir yang melapisi bagian punggung sebelah kanan indukan dibersihkan.
? Salah satu sisik dilepas dengan pisau kecil kemudian pisau tersebut ditisukkan untuk membuat lubang untuk menanam pellet hormon.
? Pellet hormon dimasukkan dengan bantuan implanter.
? Indukan kemudian dimasukkan lagi ke bak pemeliharaan.
b. Implantasi pelet hormon dilakukan setiap bulan pada pagi hari saat pemantauan perkembangan gonad induk jantan maupun betina dilakukan LHRH-a dan 17 alpha methiltestoteren masing-masing dengan dosis 100~200 mikron per ekor (berat induk 3,5 sampai 7 kg).
6) Pemijahan Alami.
a. Ukuran bak induk 30-100 ton dengan kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat dilengkapi aerasi kuat menggunakan ?diffuser? sampai dasar bak serta ditutup dengan jaring.
b. Pergantian air minimal 150 % setiap hari.
c. Kepadatan tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3 air.
d. Pemijahan umumnya pada malam hari. Induk jantan mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga fertilisasi terjadi secara eksternal.
7) Pemijahan Buatan.
a. Pemijahan buatan dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon berbentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina sudah matang gonad sedang hormon berbentuk padat diberikan setiap bulan (implantasi).
b. Induk bandeng akan memijah setelah 2-15 kali implantasi tergantung dari tingkat kematangan gonad. Hormonyang digunakan untuk implantasi biasanya LHRH ?a dan 17 alpha methyltestoterone pada dosis masing-masing 100-200 mikron per ekor induk (> 4 Kg beratnya).
c. Pemijahan induk betina yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron atau induk jantan yang mengandung sperma tingkat tiga dapat dipercepat dengan penyuntikan hormon LHRH- a pada dosis 5.000 10.000IU per Kg berat tubuh.
d. Volume bak 10-20 kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat terbuat dari serat kaca atau beton ditutup dengan jaring dihindarkan dari kilasan cahaya pada malam hari untuk mencegah induk meloncat keluar tangki.
8) Penanganan Telur.
a. Telur ikan bandeng yang dibuahi berwarna transparan, mengapung pada salinitas > 30 ppt, sedang tidak dibuahi akan tenggelam dan berwarna putih keruh.
b. Selama inkubasi, telur harus diaerasi yang cukup hingga telur padam tingkat embrio. Sesaat sebelum telur dipindahkan aerasi dihentikan. Selanjutnya telur yang mengapung dipindahkan secara hati-hati ke dalam bak penetasan/perawatan larva. Kepadatan telur yang ideal dalam bak penetasan antara 20-30 butir per liter.
c. Masa kritis telur terjadi antara 4-8 jam setelah pembuahan. Dalam keadaan tersebut penanganan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindarkan
benturan antar telur yang dapat mengakibatkan menurunnya daya tetas telur. Pengangkatan telur pada fase ini belum bisa dilakukan.
d. Setelah telur dipanen dilakukan desinfeksi telur yang menggunakan larutan formalin 40 % selama 10-15 menit untuk menghindarkan telur dari bakteri, penyakit dan parasit.
9) Pemeliharaan Larva.
a. Air media pemeliharaan larva yang bebas dari pencemaran, suhu 27 31 C salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5-7 ppm diisikan kedalam bak tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi sistem aerasi dan batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm batu aerasi.
b. Larva umur 0-2 hari kebutuhan makananya masih dipenuhi oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Setelah hari kedua setelah ditetaskan diberi pakan alami yaitu chlorella dan rotifera. Masa pemeliharaan berlangsung 21-25 hari saat larva sudah berubah menjadi nener.
c. Pada hari ke nol telur-telur yang tidak menetes, cangkang telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai hari ke 8-10 larva dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10 dilakukan pergantian air 10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang panen.
d. Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya terjadi mulai hari ke 3-4 sampai ke 7-8. Untuk mengurangi jumlah kematian larva, jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air pemeluharan perlu terus dipertahankan pada kisaran optimal.
e. Nener yang tumbuh normal dan sehat umumnya berukuran panjang 12- 16 mm dan berat 0,006-0,012 gram dapat dipelihara sampai umur 25 hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa.
10) Pemberian Makanan Alami
a. Menjelang umur 2-3 hari atau 60-72 jam setelah menetas, larva sudah harus diberi rotifera (Brachionus plicatilis) sebagai makanan sedang air media diperkaya chlorella sp sebagai makanan rotifera dan pengurai metabolit.
b. Kepadatan rotifera pada awal pemberian 5-10 ind/ml dan meningkat jumlahnya sampai 15-20 ind/ml mulai umur larva mencapai 10 hari. Berdasarkan kepadatan larva 40 ekor/liter, jumlah chlorella : rotifer : larva = 2.500.000: 250 : 1 pada awal pemeliharaan atau sebelum 10 hari setelah menetas, atau = 5.000.000 : 500:1 mulai hari ke 10 setelah menetas.
c. Pakan buatan (artificial feed) diberikan apabila jumlah rotifera tidak mencukupi pada saat larva berumur lebih dari 10 hari. Sedangkan penambahan Naupli artemia tidak mutlak diberikan tergantung dari kesediaan makanan alami yang ada.
d. Perbandingan yang baik antara pakan alami dan pakan buatan bagi larva bandeng 1 : 1 dalam satuan jumlah partikel. Pakan buatan yang diberikan sebaiknya berukuran sesuai dengan bukaan mulut larva pada tiap tingkat umur dan mengandung protein sekitar 52%. Berupa. Pakan buatan komersial yang biasa diberikan untuk larva udang dapat digunakan sebagai pakan larva bandeng.
11) Budidaya Chlorella
Kepadatan chlorella yang dihasilkan harus mampu mendukung produksi larva yang dikehendaki dalam kaitan dengan ratio volume yang digunakan dan ketepatan waktu. Wadah pemeliharaan chlorella skala kecil menggunakan botol kaca/plastik yang tembus cahaya volume 3-10 liter yang berada dalam ruangan bersih dengan suhu 23-25 0C, sedangkan untuk skala besar menggunkan wadah serat kaca volume 0,5-20 ton dan diletakkan di luar ruangan sehingga langsung dengan kepadatan ? 10 juta sel/m3. Panen chlorella dilakukan dengan cara memompa, dialirkan ke tangki-tangki pemeliharaan rotifera dan larva bandeng. Pompa yang digunakan sebaiknya pompa benam (submersible) untuk menjamin aliran yang
sempurna. Pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan
serta saringan yang bermata jaring 60-70 mikron, berukuran 40x40x50 cm, di bawah
aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain
dan dihitung kepadatanya per milimeter.
12) Budidaya Rotifera.
Budidaya rotifera skala besar sebaiknya dilakukan dengan cara harian yaitu
sebagian hasil panen disisakan untuk bibit dalam budidaya berikutnya (daily partial
harvest). Sedangkan dilakukan dengan cara panen penuh harian (batch harvest).
Kepadatan awal bibit (inokulum) sebaiknya lebih dari 30 individu/ml dan jumlahnya
disesuaikan dengan volume kultur, biasanya sepersepuluh dari volume wadah.
Wadah pemeliharaan rotifer menggunakan tangki serat kaca volume 1-10 ton
diletakkan terpisah jauh dari bak chrollela untuk mencegah kemungkinan mencemari
kultur chlorella dan sebaiknya beratap untuk mengurangi intensitas cahaya matahari
yang dapat mempercepat pertumbuhan chlorella.
Keberhasilan budidaya rotifera berkaitan dengan ketersediaan chlorella atau
Tetraselmis yang merupakan makanannya. Sebaiknya perbandingan jumlah chlorella
dan rotifer berkisar 100.000 : 1 untuk mempertahankan kepadatan rotifer 100
individu/ml. Pada kasus-kasus tertentu perkembangan populasi rotifer dapat dipacu
dengan penambahan air tawar sampai 23 ppt. Apalagi jumlah chlorella tidak
mencukupi dapat digunakan ragi (yeast) pada dosis 30 mg/1.000.000 rotifer. Panen
rotifer dilakukan dengan cara membuka saluran pembuangan dan sebelumnya telah
disiapkan wadah penampungan serta jaringan yang bermata jaring 60-70 mikro berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatannya per milimeter. Pencatatan tentang perkembangan rotifer dilakukan secara teratur dan berkala serta data hasil pengamatan dicatat untuk mengetahui perkembangan populasi serta cermat dan untuk bahan pertimbangan pemeliharaan berikutnya. 5. PANEN 1) Panen dan Distribusi Telur. Dengan memanfaatkan arus air dalam tangki pemijahan, telur yang telah dibuahi dapat dikumpulkan dalam bak penampungan telur berukuran 1x5,5x0,5 m yang dilengkapi saringan berukuran 40x40x50 cm, biasa disebut egg collector, yang ditempatkan di bawah ujung luar saluran pembuangan. Pemanenan telur dari bak penampungan dapat dilakukan dengan menggunakan plankton net berukuran mata 200-300 mikron dengan cara diserok.
Telur yang terambil dipindahkan ke dalam akuarium volume 30-100 liter, diareasi selama 15-30 menit dan didesinfeksi dengan formalin 40 % pada dosis 10 ppm selama 10-15 menit sebelum diseleksi. Sortasi telur dilakukan dengan cara meningkatkan salinitas air sampai 40 ppt dan menghentikan aerasi. Telur yang baik terapung atau melayang dan yang tidak baik mengendap. Persentasi telur yang baik untuk pemeliharaan selanjutnya harus lebih dari 50 %. Kalau persentasi yang baik
kurang dari 50 %, sebaiknya telur dibuang. Telur yang baik hasil sortasi dipindahkan kedalam pemeliharaan larva atau dipersiapkan untuk didistribusikan ke konsumen yang memerlukan dan masih berada pada jarak yang dapat dijangkau sebelum telur menetas ( ? 12 jam). 2) Distribusi Telur. Pengangkutan telur dapat dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik berukuran 40x60 cm, dengan ketebalan 0,05 ? 0,08 mm yang diisi air dan oksigen murni dengan perbandingan volume 1:2 dan dipak dalam kotak styrofoam. Makin lama transportasi dilakukan disarankan makin banyak oksigen yang harus ditambahkan. Kepadatan maksimal untuk lama angkut 8 ? 16 jam pada suhu air antara 20 ? 25 0C berkisar 7.500-10.000 butir/liter. Suhu air dapat dipertahankan tetap rendah dengan cara menempatkan es dalam kotak di luar kantong plastik. Pengangkutan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mencegah telur menetas selama transportasi. Ditempat tujuan, sebelum kantong plastik pengangkut dibuka sebaiknya dilakukan penyamaan suhu air lainnya. Apabila kondisi air dalam kantong dan diluar kantong sama maka telur dapat segera dicurahkan ke luar. 3) Panen dan Distribusi Nener. Pemanenen sebaiknya diawali dengan pengurangan volume air, dalam tangki benih kemudian diikuti dengan menggunakan alat panen yang dapat disesuaikan dengan ukuran nener, memenuhi persyaratan hygienis dan ekonomis. Serok yang digunakan untuk memanen benih harus dibuat dari bahan yang halus dan lunak berukuran mata jaring 0,05 mm supaya tidak melukai nener. Nener tidak perlu diberi pakan sebelum dipanen untuk mencegah penumpukan metabolit yang dapat menghasilkan amoniak danmengurangi oksigen terlarut secara n yata dalam wadah pengangkutan: a) Persiapan plastik packing, dan memasukan benih ke dalam plastik packing b) Memasukkan oksigen ke dalam plastik packing c) Pengikatan plastik, plastik di ikat secara kuat agar oksigen tidak keluar d) Pengemasan ke dalam kotak pengemasan e) Benih siap di distribusikan 4) Panen dan Distribusi Induk. Panen induk harus diperhatikan kondisi pasang surut air dalam kondisi air surut volume air tambak dikurangi, kemudian diikuti penangkapan dengan alat jaring yang disesuaikan ukuran induk, dilakukan oleh tenaga yang terampil serta cermat. Seser / serok penangkap sebaiknya berukuran mata jaring 1 cm agar tidak melukai induk. Pemindahan induk dari tambak harus menggunakan kantong plastik yang kuat, diberi oksigen serta suhu air dibuat rendah supaya induk tidak luka dan mengurangi stress. Pengangkutan induk dapat menggunakan kantong plastik, serat gelas ukuran 2 m3, oksigen murni selama distribusi. Kepadatan induk dalam wadah 10 ekor/m3 tergantung lama transportasi. Suhu rendah antara 25 ? 27 0C dan salinitas rendah antara 10-15 ppt dapat mengurangi metabolisme dan stress akibat transportasi. Aklimatisasi induk setelah transportasi sangat dianjurkan untuk mempercepat kondisi induk pulih kembali.
Sumber :
Tristian, 2011. Budidaya Ikan Bandeng. Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan Nomor: 005/TAK/BPSDMKP/2011. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
PUSTAKA:
Ahmad, T dan M. J. R. Yakob. 1998. Budidaya Bandeng Intensif di Tambak. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Loka Penelitian Perikanan Pantai. Bali.
E. Ratnawati dan M. J. R. Yakob. 1999. Budidaya Bandeng Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.
Atmomarsono, M dan V. P. H. Nikijuluw. 2003. Pedoman Investasi Komoditas Bandeng di Indonesia. Direktorat Sistem Permodalan dan Investasi. Jakarta.
Buttner, J. K., R. W. Soderberg, dan D. E. Terlizzi. 1993. An Introduction to Water Chemistry in Freshwater Aquaculture. Northeastern Regional Aquaculture Center. University of Massachusetts Dartmouth. Massachusetts. Cholik, F., A.G. Jagatraya., R.P. Poernomo dan A. Jauzi. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa. Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) dengan Taman Akuarium Air Tawar TMII. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Campuran Udang dan Bandeng. Direktorat Bina Produksi. Jakarta.
________________________. 1993. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
________________________. 1994. Petunjuk Teknis Usaha Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Intensif yang Berkelanjutan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jepara.
Djamin, Z. 1990. Perencanaan dan Analisa Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Effendi, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama Yayasan Dewi Cukaray. Bogor.
Effendi, I. 2004 . Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Feliatra.,
I. Effendi dan E. Suryadi. 2004. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Probiotik dari Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam Upaya Efisiensi Pakan Ikan. Jurnal Natur Indonesia. Universitas Riau. Pekan Baru.
Hadie, W dan J. Supriatna. 2000. Teknik Budidaya Bandeng. Bhratara. Jakarta. Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Idel, A dan S. Wibowo. 1996. Budidaya Tambak Bandeng Modern. Gita Media Press. Surabaya. Ismail, A., Manadiyanto dan S. Hermawan. 1998. Kajian Usaha Bandeng Umpan dan Bandeng Konsumsi pada Tambak di Kamal Jakarta Utara. Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Loka Penelitian Perikanan Pantai. Bali.
Kasmir dan Jakfar. 2006. Studi Kelayakan Bisnis. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Martosudarmo, B., E. Sudarmini dan B. S Ranoemihardjo. 1984. Biologi Bandeng (Chanos chanos Forskal). Pedoman Budidaya Tambak. Balai Budidaya Air Payau. Jepara.
Mayunar. 2002. Budidaya Bandeng Umpan Semi Intensif dengan Sistem Modular pada Berbagai Tingkat Kepadatan. Laporan Kegiatan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jepara.
Mudjiman, A. 1987. Budidaya Bandeng di Tambak. Penebar Swadaya. Jakarta. Purnamawati. 2002. Peranan Kualitas Air Terhadap Keberhasilan Budidaya Ikan di Kolam. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. ISSN No. 0852/894. Volume 8. No. 1. Jakarta.
Rangkuti, F. 2000. Business Plan Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisa Kasus. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Schmittou, H. R. 1991. Cage Culture : A Method of Fish Production in Indonesia. Fiseries Research and Development Center.
Susanto, Heru. 2003. Membuat Kolam Ikan. 2003. Penebar Swadaya. Jakarta.
reff : http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2014/12/pembenihan-ikan-bandeng.html
EmoticonEmoticon