KELAUTAN & PERIKANAN SURAM DI TANGAN FADEL

Negara kembali merugi, angka impor ikan semakin meningkat. Bukti, kegagalan Menteri Fadel Muhammad.

LEMAHNYA antisipasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menghadapi China-Asean Free Trade Agreement (CAFTA) di sektor perikanan, ternyata berimbas pada melonjaknya impor produk perikanan.

Terbukti, impor produk perikanan selama triwulan I tahun ini, sebesar 77 juta dolar AS atau melonjak 32 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2009, yang hanya 58 juta dolar AS. Padahal, pertumbuhan ekspor perikanan untuk periode yang sama hanya sekitar 8 persen.

Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung menyatakan, lonjakan impor tersebut sebagaian besar dipicu adanya Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China serta antarnegara anggota ASEAN (CAFTA).

?Hal ini bagian dari imbas CAFTA,? ujarnya, (24/6) di Jakarta.

Lebih lanjut, Saut menjelaskan, pada dasarnya kondisi ini juga tidak terlepas dari permintaan ekspor produk perikanan Indonesia yang sebenarnya meningkat, tetapi kemampuan produksi dalam negeri tidak mampu mengimbanginya.

?Udang misalnya, akibat serangan penyakit sejak tahun 2009, hingga kini produksinya belum pulih,?paparnya.

Sebagaimana diketahui, produk perikanan yang diimpor antara lain ikan beku dan segar serta tepung ikan untuk bahan baku pakan ikan. Adapun produk perikanan Indonesia yang diekspor antara lain udang, kakap merah, tuna, octopus, dan cumi-cumi.

Namun, menurut Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan & Peradaban Maritim (PK2PM) Muhammad Karim, lonjakan impor produk perikanan sebetulnya sudah melebihi angka 50 persen. Terbukti pada periode 2008 -2009 saja impor sudah sudah menyentuh angka 56 persen.

?Artinya jika ditambah dengan persentase triwulan pertama sebesar 32 persen maka didapat angka 88 persen. Ini cukup logis karena selain masih merebaknya mafia perikanan juga imbas CAFTA yang tidak bisa diantisipasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan,? jelasnya.

Sekadar diketahui Cina, sebagai bagian utama dari perjanjian CAFTA, merupakan pengekspor ikan air tawar terbesar di dunia. 66 persen produksi ikan non laut dikuasai oleh Cina. Sedangkan untuk jenis ikan Nila, Vietnam menjadi salah satu jawaranya.

Sementara, Menteri Fadel menargetkan, pada tahun 2014 produksi ikan menjadi 16,9 juta ton atau naik 353 persen dari produksi ikan tahun 2010, yakni 5,37 juta ton. Itu hanya mimpi semata. ?Mana mungkin kita bias menyaingi Cina. Mimpi itu,? tandasnya.

Belum lagi, lanjut Karim, persoalan mafia perikanan yang sampai hari ini masih menjadi ?pemain utama? dari hancurnya perikanan Indonesia. Mereka biasanya banyak bermain di kejahatan pencurian ikan, patgulipat perizinan, hingga modus penggelapan pajak lewat mengubah laporan atau sampai tidak melaporkan hasil tangkapannya atau biasa disebut unreported.

?Modus mereka berjalan cukup mulus dan sulit diberantas. Ini tak mungkin mulus begitu saja tanpa mafianya,? ujarnya.

Sementara dari kalangan pengusaha, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO) Herwindo mengingatkan, lonjakan impor produk perikanan akan kontraproduktif terhadap target menjadikan Indonesia produsen ikan terbesar dunia tahun 2014.

?Ya bagaimana mau jadi produsen tangguh, kalau hari ini impornya saja masih melonjak,? ujarnya.

Lonjakan impor, menurut Ketua Umum Forum Peningkatan Konsumsi Ikan Nasional Ady Surya, seharusnya menjadi peringatan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Apalagi, telah ditemukan berbagai kasus adanya kandungan formalin pada produk perikanan impor.

Bulan April, misalnya, ditemukan logam berat melebihi ambang batas pada ikan teri asal Thailand dan Vietnam yang masuk lewat Pelabuhan Belawan, Medan. Ikan teri impor itu dijual dengan harga Rp 10.000 - Rp 12.000 per kilogram, padahal ikan teri produk dalam negeri harganya Rp 14.000 - Rp 16.000 per kilogram.

Pada ikan nila (tilapia) yang diimpor dari Malaysia juga ditemukan kandungan formalin. Sebelumnya, pada 2008, ikan impor dari Pakistan juga ditemukan mengandung formalin.

?Kalau saja, pemerintah mau tanggap, ini adalah momentum dimana produksi ikan dalam negeri bisa digenjot,? kata Ady.
Pernyataan miris pun, diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI) Yulian Paonganan. Menurutnya, persoalan karut marutnya perikanan nasional tidak terlepas dari lemahnya visi kemaritiman Indonesia.
?Sebetulnya, hal ini kembali lagi ke permasalahan klasik, dimana pemerintah masih kurang serius dalam mengembangkan potensi maritim dan terlalu bangga dengan kebijakan pembangunan nasional yang berbasis kontinen (darat),? jelasnya.
Hal ini, lanjutnya, perlu segera diantisipasi oleh pemerintah karena hal ini menjadi masalah yang sangat tragis di negara maritim terbesar di dunia dengan sumberdaya hayati laut yang begitu melimpah.
Apalagi, implementasi dari gagasan Menteri Fadel untuk meningkatkan produksi perikanan dan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara produsen ikan terbesar di dunia merupakan langkah yang cukup strategis.
?Namun, jangan sampai hal tersebut hanya menjadi mimpi belaka di saat kebijakan penganggaran APBN yang pro laut tidak signifikan,? katanya.
Lebih lanjut, Yulian menilai, untuk mencapai target tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlalu banyak persolahan mendasar bagi para nelayan kita yang masih perlu dibenahi. Jangan mimpi akan meningkatkan produksi perikanan jika kebutuhan mendasar nelayan kita masih belum dibenahi.
?Jadi yang diperlukan mendesak adalah merombak kebijakan pembangunan nasional berbasis maritim, baru menentukan langkah-langkah strategis untuk pengelolaan sumberdaya alam laut yang lestari dan berkelanjutan,? paparnya.

? Dimas Ryandi
Sumber: http://www.indonesia-monitor.com





reff : http://perikanannews.blogspot.com/2010/08/kelautan-perikanan-suram-di-tangan.html


Related video : KELAUTAN & PERIKANAN SURAM DI TANGAN FADEL


Previous
Next Post »