1. Pendahuluan
Bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah tangkapan ikan potensial.
Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi keluarga mereka.
Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk melacak keberadaan ikan di laut.
Sebuah ironi yang tidak semestinya terjadi pada mereka.
Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk mencari lokasi ikan.
2. Membaca Citra Satelit
Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat sebangun antara peta bumi dan hasil citra.
Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis proses fisik yang terjadi di laut.
Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa massa air dingin.
Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s) dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek citra massa air dingin relatif lebih stabil.
Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence zone atau front) dan upwelling.
3. Analisis Citra Satelit
Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.
Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan.
Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.
Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT
ngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat penangkapan ikan (fishing ground).
Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus (convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front). Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward).
Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam teori rantai makanan.
Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai contoh).
4. Penutup
Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional.
Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.
reff : http://rustadhieperikanan.blogspot.com/2011/12/satelit-oseanografi-untuk-nelayan.html
EmoticonEmoticon